Penanganan Konflik Sosial Kesiapan Pemilu 2024, Berdasarkan Kepemimpinan Model Aigle & Intuitif Leadership

Oleh: AKBP Suryadi, S.I.K, M.H. Kapolres Rembang, Polda Jawa Tengah

Oleh:

AKBP Suryadi, S.I.K, M.H.

Kapolres Rembang, Polda Jawa Tengah

Agile & Intuirif Leadership sebagai Instrumen Mewujudkan Polri Presisi

Peran kepemimpinan telah dianggap sebagai salah satu faktor penting bagi keberhasilan organisasi manapun.

Salah satu tantangan dalam organisasi kepolisian adalah kurangnya pemimpin panutan.

Hal ini yang kemudian dilakukan oleh Command and Staff College (CSC) dari Departemen Kepolisian Montgomery (MPD) mengembangkan kepemimpinan kepolisian bekerjasama dengan universitas lokal di Montgomery.

Kebijakan Polri Presisi memberikan penekanan pada aspek kepemimpinan, terutama menghadapi situasi volatility (bergejolak), uncertainty (tidak pasti), complexity (kompleks), dan ambiguity (tidak jelas) atau dikenal dengan akronim.

Polri harus mulai membangun model kepemimpinan yang tidak hanya tekun, tetapi juga siap dalam pengambilan keputusan secara cepat, tepat, dan profesional.

Karakteristik kepemimpinan ini membutuhkan figur yang dapat memberikan nilai dan sikap kerja yang memberikan inovasi.

Pemimpin dalam model pemolisian prediktif bukan seorang single fighter, melainkan mampu membangun kekompakan tim melalui kerja sama, sinergi dan kolaborasi.

Eksitensi Polri Presisi sebetulnya sebagai potret bahwa Polri terus menyesuaikan diri baik di tataran paradigma hingga pada tataran praktik di lapangan untuk menjalankan tugas dan fungsi serta pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat.

Polri Presisi merupakan wujud pergeseran paradigma Polri untuk lepas dari belenggu kekakuan dalam pelayanan terhadap masyarakat maupun dalam mekanisme penegakan hukum.

Kepemimpinan mengandung makna suatu upaya bersama dalam menggerakkan sumber daya yang dimiliki oleh suatu organisasi.

Sumber daya yang terdiri dari manusia dan alat yang disebut recources ini biasa diklasifikasikan kedalam human recources dan non human recources dimana dalam suatu organisasi yang terdiri dari berbagai unsur sumber daya, manusia adalah untuk utama sebagai penentu bergeraknya suatu proses kinerja organisasi.

Dalam berbagai konsep, pembentukan setiap organisasi bertujuan untuk mewujudkan tujuan bersama secara efektif dan efisien.

Demikian pula organisasi pemerintah yang memiliki tatanan birokrasi yang perlu ditata dalam manajemen kepemimpinan yang baik.

Karena kepemimpinan adalah core manajemen yang awalnya dalam teori masyarakat modern dianggap sebagai dewa yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.

Namun tentu berbeda dengan kepemimpinan di era modern yang menuntut adanya upaya percepatan dan perubahan dalam menjawab tantangan dan berbagai isu global yang dihadapi.

Sehingga, setiap pemimpin dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien diharapkan memiliki kemampuan dan ketangkasan dan kecepatan dalam memutuskan sesuatu.

Untuk mewujudkan Polri Presisi tentu dibutuhkan lokomotif penggerak yang berjiwa agile.

Pemimpin agile yang digambarkan sebagai sosok yang gesit, lincah dan trampil.

Pemimpin agile adalah seseorang yang diharapkan tidak hanya mampu membawa perubahan akan tetapi mampu mendongkrak keinginan mereka yang dipimpinnya untuk berubah, berinovasi dan beradaptasi.

Visi Presisi yang diusung Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dinilai positif oleh berbagai pihak.

Presisi yang merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah dan cepat.

Tugas utama Kepolisian adalah senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi masyarakat dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.

Dengan tata krama yang baik sesuai dengan norma atau aturan dan nilai yang disepakati bersama.

Visi Presisi Polri tersebut akan sulit terwujud bila model kepemimpinan yang digunakan menggunakan model tradisional yang ketat dan lamban mengambil kebijakan.

Secara sederhana Agile and Intuitif leadership memiliki pemaknaan yakni, Agile dengan makna Gesit dan Cekatan, serta Intuitif dengan makna :

Pertama, Scientifie Inguiry yang memuat tentang validity, clear, based on science, empirical.

Kedua, menggunakan teknologi berbasis dan dan Informasi.

Ketiga, pemanfaatan jejaring.

Keempat, analisis dan inovatif.

Kelima, adil, fair dan netral.

Keenam, speed dan pencegahan.

Ketujuh, lebih rendah hati.

Adapun ketujuh makna ini memiliki spirit yang sama dengan jargon Polri Presisi.

Presisi yang merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah dan cepat.

Tugas utama Kepolisian adalah senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi masyarakat dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.

Dengan tata krama yang baik sesuai dengan norma atau aturan dan nilai yang disepakati bersama.

Agile & Intuirif Leadership dan Perannya dalam Penanganan Konflik Sosial Pemilu 2024

Spirit Polri Presisi secara prinsip dan normatif dimuat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian.

Dalam Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa Kode Etik Profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.

Dalam Pasal 1 ayat (3) juga menerangkan etika profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila, serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan dan hubungan dengan masyarakat.

Faktor Pemimpin dinilai memiliki dampak dalam model kepemimpinan sebuah organisasi, ini akan menimbulkan motivasi kerja.

Menurut Simková & Holzner mengemukakan secara teoritis motivasi terbentuk karena manusia memiliki kategori kebutuhan pokok seperti kebutuhan fisiologi, rasa aman, sosial, ego dan perwujudan diri. Kebutuhan tersebut membentuk suatu hirarki dan masing-masing akan aktif jika kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi.

Kebutuhan fisiologi merupakan kebutuhan pokok misalnya kebutuhan makanan, minuman, tempat tinggal dan sejenisnya.

Kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan pokok terpenuhi, misalnya kebutuhan jaminan keamanan.

Pandangan bahwa pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi, penting dilakukan untuk meningkatkan gairah kerja karyawan sehingga Anggota Kepolisian dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh Pimpinan Polri.

Hubungan motivasi, gairah kerja dan hasil optimal mempunyai bentuk linear dalam arti dengan pemberian motivasi kerja yang baik, maka gairah kerja anggota akan meningkat dan hasil kerja akan optimal sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan.

Model kepemimpinan menjadi suatu hal yang urgent dirumuskan dimulai dari memahami ciri tipe kepemimpinan, sebagaimana dijelaskan Veithzal Rivai dalam bukunya “Education Manajemen” bahwa, Tipe kepemimpinan paling tepat untuk memimpin organisasi modern, memiliki beberapa ciri di antaranya;

1) Selalu bertitik tolak dari rasa persamaan hak dan persamaa kewajiban sebagai manusia;

2) Berusaha menyingkronkan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi/bawahan dan;

3) Senang menerima saran, pendapat dan kritik.

Berdasarkan 3 (tiga) ciri kepemimpinan dan kondisi zaman yang menuntut kecepatan dan ketepatan, kepemimpinan yang agile atau gesit dan lincah harus mempromosikan dan memfasilitasi lingkungan kerja dimana anggota kepolisian dapat berkembang dan memungkinkan mereka untuk bangga dengan pekerjaan mereka.

Tentu hal itu berpedoman pada aturan dan norma yang dianut atau ditetapkan.

Pemimpin Agile mendukung anggota kepolisian dan membimbing anggota kepolisian dalam pelaksanaan eksperimen.

Kepemimpinan Agile dapat mengantarkan kepolisian lebih adaptif dalam rangka menjawab tantangan era saat ini yang penuh ketidakpastian.

Agile and Intuitif leadership sebagai sebuah model dan metode dalam upaya penerapan nilai-nilai etika pelayanan Polri kepada masyarakat, serta ikhtiar mewujudkan Polri Presisi termasuk dalam upaya penangan konflik sosial baik dari sisi mitigasi risiko maupun dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan konflik sosial.

Salah satu tantangan kedepan yang akan dihadapi oleh Polri adalah tantangan Potensi konflik pada Pemilu 2024 yang akan datang.

Pemilu 2024 merupakan pesta rakyat dalam negara demokrasi, namun potensi konflik acapkali terjadi seiiring penyelenggaraan pemilu.

Hal tersebut disebabkan karena adanya interaksi dan polarisasi yang terbentuk dari kuantitas rakyat Indonesia yang sangat besar dengan jumlah penduduk termasuk sebagai jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Ketidakterkendalian dalam menyikapi dinamika demokrasi dan politik dinilai akan berdampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan dan tidak terkendalinya situasi dinamika politik di masyarakat.

Atas dasar hal tersebut diperlukan strategi pencegahan terkait potensi konflik tersebut.

Konsep pencegahan konflik sosial ini, yang disebabkan dari benturan kepentingan.

Selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial.

Sehingga mengganggu stabilitas nasional menghambat pembangunan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Untuk itu, Kepolisian dalam mengemban tugas dan wewenang dengan mengembangkan strategi Kepolisian, sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Polri mengutamakan tindakan pencegahan.

Selain menangani terhadap kejahatan (repressive policing), polisi harus lebih besar perhatiannya terhadap penanganan masalah konflik sosial dan sumber-sumber konflik yang ditimbulkan sebelum, pada saat dan sesudah penyelenggaraan Pemilu, dengan menganalisa problem-problem sosial sebagai masalah (problem oriented policing).

Dengan menganalisis dan pemecahan masalah secara dini timbulnya penyimpangan sosial dan konflik sosial agar dapat dicegah secara dini.

Polri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tugasnya di tengah-tengah masyarakat
obyeknya antara lain masyarakat dalam wilayah tertentu yang didiami oleh masyarakat tersebut, maka potensi yang ada di masyarakat harus diupayakan pemanfaatannya agar dapat didayagunakan dalam rangka untuk mencapai tugas pokok Polri.

Untuk itu, potensi tersebut harus diupayakan dapat berpartisipasi dalam usaha menciptakan kondisi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang aman dan tertib dan dapat bersama-sama mewujudkan kehidupan masyarakat tata tenterem kerta raharja.

Agile and Intuitif leadership dinilai mampu menghadapi tantangan potensi konflik sosial tersebut yang ditimbulkan dari penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang.

Secara historis, penyelenggaraan Pemilu memang pernah menimbulkan kerawanan konflik sosial dengan banyaknya pelanggaran-
pelanggaran yang dinilai menjadi stimulus bagi perpecahan.

Selama pelaksanaan kampanye pemilu 1997, misalnya, kekerasan politik dan politik kekerasan tetap berlangsung.

Bahkan sampai tanggal 13 Mei 1997 atau 16 hari sejak kampanye pertama dimulai, korban tewas telah mencapai 49 orang
serta ratusan orang luka-luka.

Beberapa penyimpangan dan sebenarnya juga merupakan pelanggaran dari prinsip fairness serta kesamaan telah dipertontonkan dalam tahap kampanye sepanjang pemilu-pemilu Orde Baru, antara lain:

(a) Mencuri start kampanye yang dilakukan oleh para pejabat yang sekaligus pimpinan Golkar sebelum masa kampanye tiba, ini berlangsung di hampir seluruh daerah dengan berbagai metode seperti safari Ramadhan oleh menteri, kunjungan ke daerah
dengan mengerahkan murid-murid SMA yang kemudian diberi kaos Golkar, dsb;

(b) Diskriminasi perlakuan, misalnya ketika temu kader Golkar panitia memasang ratusan bendera Golkar tanpa hambatan, tetapi ketika ada kegiatan PDI dan PPP untuk memasang bendera dipersulit dengan cara harus meminta izin ke sana ke mari;

(c) Pemberian barang atau fasilitas yang dapat dikategorikan sebagai money politics; dan sebagainya.

Demikianlah gambaran pelaksanaan tahap kampanye pemilu pada pemilu- pemilu Orde Baru yang diwarnai oleh berbagai pelanggaran, aksi-aksi kekerasan massa, kecurangan pelaksana yang berat sebelah, penggunaan fasilitas negara untuk keuntungan partai berkuasa, pawai arak-arakan sebagai bagian dari kampanye yang telah dimanfaatkan untuk pelampiasan emosi massa, serta ketidakseimbangan kesiapan dari Golkar di satu sisi dan PDI serta PPP di sisi lain.

Kampanye pada pemilu 1997 menjadi kampanye terakhir pemilu-pemilu Orde Baru.

Inilah kampanye terakhir dari rangkaian pemilu-pemilu yang diwarnai praktik manipulatif, diskriminatif, intimidasi, toleransi
terhadap pelanggaran65 dan kecurangan sejak 1971.

Secara eksisting dan keterbaruan, Pemilu 2019 juga turut memunculkan konflik sosial. bahkan melampaui terjadinya konflik sosial dengan banyaknya angka kematian selama penyelenggaraan Pemilu 2019 lalu.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 554 orang dari KPPS, Panwas hingga Polisi meninggal dunia.

Kerusuhan di sana sini, konflik horizontal yang terjadi di masyarakat turut mewarnai situasi penyelenggaran Pemilu di tahun 2019 lalu.

Oleh sebab itulah, menjadi penting dan mendesak untuk adanya penyesuaian yang cepat di tubuh Polri yang merupakan garda terdepan dalam pencegahan dan penangan konflik serta penegakan hukum selama penyelenggaraan Pemilu.

Kepemimpinan pimpinan Polri baik di tingkat kecamatan, kota, provinsi hingga pusat dituntut untuk adaptif, yang jika tidak
mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman dan masyarakat, maka akan terjadi pengulangan konflik sosial sebagaimana yang terjadi pada tahun 2019 lalu.

Kepemimpinan yang adaptif tersebut merupakan wujud dari model agile dalam upaya Polri untuk pencegahan dan strategi
penangan konflik sosial.

Adapun Intuitif memiliki makna :

Pertama, Scientific Inguiry yang memuat tentang validity, clear, based on science, empirical.

Pada intinya, scientific inguiry merupaka model kepemimpinan berbasis ilmu pengetahuan dan dapat dipraktikan dilapangan.

Pemahaman ilmiah dan intelektual dinilai sebagai modal dasar bagi Polri dalam upaya pencegahan dan penangan konflik sosial pada Pemilu 2024.

Tanpa kemampuan scientific inguiry, dinilai sulit bagi Polri untuk memetakan potensi-potensi konflik termasuk mitigasi atas potensi tersebut.

Kedua, menggunakan teknologi berbasis dan dan Informasi. Era teknologi memudahkan Polri dalam upaya pencegahan dan penanganan konflik sosial pada Pemilu 2024.

Pemanfaatan teknologi dinilai berdampak besar sebagai sarana edukasi dan sarana komunikasi kepada masyarakat untuk mengetahui rambu-rambu dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 serta memberi pemahaman bagi Masyarakat untuk menimbulkan sikap yang dapat berpotensi pada perpecahan.

Ketiga, pemanfaatan jejaring. Polri tidak mampu berdiri sendiri, Polri perlu sinergitas dengan institusi lain seperti TNI, dan Lembaga penyelenggara Pemilu khususnya bersama dengan masyarakat.

Model Polri Presisi juga memuat makna sinergitas Polri bersama Masyarakat, dengan kekompakan jejaring Polri dinilai akan mampu melakukan pencegahan sekaligus penanganan terhadap konflik yang ditimbulkan secara cepat dan akurat.

Keempat, analisis dan inovatif, tidak hanya memiliki kemampuan dalam menganalisis tetapi juga terdapat inovasi untuk melakukan penanganan dan pencegahan konflik sosial pada Pemlu 2024.

Inovasi-inovasi ini tentu dapat hadir dengan keterlibatan Polri bersama masyarakat yang membuka ruang sinergi satu sama lain.

Kelima, adil, fair dan netral. Netralitas Polri pada Pemilu 2024 merupakan kunci agar Polri bersikap berimbang dalam upaya
pencegaha dan penangan konflik sosial.

Masyarakat tentu akan memberikan penilaian atas sikap netral, adil dan fair yang menjadi prinsip Polri dalam bekerja dan mengayomi masyarakat pada penyelenggaraan Pemilu 2024.

Keenam, speed dan pencegahan. Pencegahan merupakan instrumen terbaik dalam upaya meminimalisir perpecahan atau konflik sosial.

Spirit pencegahan harus hidup di tubuh Polri, meskipun Polri diberikan kewenangan dalam penegakan hukum, namun tetap saja pencegahan dinilai memiliki keunggulan karena mampu menghilangkan dan meminimalisir perpecahan di masyakarat.

Terakhir ketujuh, lebih rendah hati. Aspek ini merupakan aspek yang melekat dalam setiap insan Polri. Hal ini penting untuk menumbuhkan kecintaan dan rasa memiliki Masyarakat terhadap Polri sehingga terciptalah kepercayaan publik terhadap Polri.

Pada prinsipnya, ketujuh model yang merupakan penjabaran dari Agile and Intuitif Leadership merupakan perwujudan dari Polri Presisi.

Tugas utama Kepolisian adalah senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi masyarakat dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.

Dengan tatakrama yang baik sesuai dengan norma atau aturan dan nilai yang disepakati bersama.(HUMAS POLRES REMBANG)